Pages

Friday, December 5, 2014

Di Mana Kampungmu?



~ Siapa yang tidak bangga punya kampung halaman? ~

Sewaktu kuliah dulu, paling tidak sekali dalam sebulan saya melakukan perjalanan ke tanah leluhur, tanah di mana saya dilahirkan, melihat dunia pertama sekali. Saya lahir dengan bantuan seorang bidan, bukan di rumah sakit ataupun klinik, tapi di rumah milik orang tua saya, di desa, tepatnya di kampung. Namanya, Sukanalu Simbelang.

Perjalanan ke kampung halaman ini tentunya dibumbui oleh banyak kepentingan. Ketika ditanya oleh orang lain ada keperluan apa pulang ke kampung, jawaban saya tidak lain dari ‘tedeh ate’ (melepas rindu), jawaban yang sangat jelas dibuat-buat. Sejujurnya, tradisi pulang kampung, sering disingkat oleh orang Medan sebagai ‘pulkam’, tidak jauh dari kepentingan pemenuhan kebutuhan hidup. Dengan kata lain, pulkam ini adalah rutinitas permintaan dana, baik sukarela, maupun suka-suka yang rela. 

Namun, di balik kepentingan tersebut, tertanam sebuah rasa bangga setiap kali pulang kampung. Bangga bukan karena akan diberikan uang oleh orang tua, jauh lebih etis dari itu tentunya. Di kampung, biasanya tetangga akan menyalami kita saat pertama kali bertemu. Mereka biasanya akan menanyakan kabar terlebih dahulu, baru kemudian menanyakan alasan pulkam. Sesudahnya, akan disodori pertanyaan yang kadang membuat kita menyesal pulang kampung, “Kapan tamat?”. Sudahlah, itu pertanyaan terbesar yang ingin dihindari setiap mahasiswa, pertanyaan sakral, diajukan hanya bagi mahasiswa yang sudah sering pulang kampung. Setelah itu akan ada lagi pertanyaan “Si piga tahun kin buatndu?”. Tidak perlu dipertanyakan apa maksud pertanyaan tersebut. Jika kamu mengambil S1, jawab saja “Si lima tahun”; kalau D3, “Si telu tahun”. Rasa bangga akan tumbuh, ketika mereka berkata, “Tidak terasa sudah mau tamat ya? Berarti tidak lama lagi sudah akan bisa membantu orang tua”.

Membantu orang tua, dalam kebiasaan masyarakat Karo memiliki makna ganda yang sama-sama berarti meringankan beban orang tua; 1. Membantu orang tua dengan memberikan sebagian dari penghasilan kita; 2. Tidak lagi meminta uang kepada orang tua sesudah tamat. Makna yang kedua tersebut di mata orang Karo sudah sangat membantu, percayalah!.

Di kampung, dunia terasa begitu berbeda dibandingkan kota tempat saya mengenyam bangku perkuliahan, Kota Medan. Percaya tidak, kalau di kampung, seorang mahasiswa memiliki gengsi yang cukup tinggi?. Orang tua akan dipandang ‘mehaga’ jika memiliki anak calon sarjana ataupun ahli madya. Jadi, tidak usah minder sekalipun IPK kamu jauh di bawah 3, jarang sekali ada yang menanyakan itu. Bagi kami anak teknik, tamat 6 tahun itu sudah dibilang jago, lho. Pandangan seperti itu hanya ada di kampung, bukan?

Kampung dengan segudang cerita, segudang ceria dan segudang derita, adalah tanah yang takkan terlupakan. Kawan saya, kelahiran Medan, besar di Medan, menikah dan menetap di Medan, pernah mengatakan kepada saya, “Enak ya punya kampung, bisa pulang kampung. Kalau aku nggak tahulah aku, Medan ini bisa dibilang kampung atau tidak. Walaupun bisa, pasti akan lebih enak kalau pulang kampung itu ke luar kota.” Begitulah memang adanya. Sangat bangga memiliki kampung. Entah kenapa. Dan percayalah lagi, tak selamanya orang yang berasal dari kampung itu kampungan.

Kawanku itu benar. Kampung-kampung kami di Taneh Karo Simalem sana, setiap tahun mengadakan “Pesta Tahunan”. Saat itulah, tradisi pulkam dianggap sebagai sebuah tradisi yang wajib dilakukan. Tidak peduli anda di Medan, ataupun ratusan bahkan ribuan mil dari Taneh Karo Simalem. Bisa kalian bayangkan tentunya, bagaimana kemeriahan yang kami rasakan. Semua sanak saudara dari perantauan ikut memeriahkan acara tersebut.

Bagaimana dengan masa depan penduduk kampung? Tidak usah diceritakan bagaimana nasib para mahasiswa -yang semasa kuliahnya sering pulang kampung- setelah tamat nanti. Apakah mereka masih akan sering pulang kampung jika tinggal di kota, atau mungkin tidak akan tertarik lagi dengan kampung mereka. Itu urusan mereka.

Yang ingin aku ceritakan adalah: aku bangga memiliki kampung; aku cinta kampung halamanku. Kelak, saat kesejukan alam di kampung halamanku tak bisa lagi kurasakan, aku ingin tidur selamanya di pangkuan kampung halamanku. Aku ingin hidupku berawal dan berakhir di sana.

Medan, 5 Desember 2014
Si Anak Kampung

Thursday, February 28, 2013

hati

hati adalah perasa hidup
hati jangan diabaikan karena uang
walau mata mengerling
walau tangan mengulurkan bantuan
tapi, jika hati tidak berniat menjadi baik
maka sia-sialah pujian yang di ujung bibir itu

uang takkan lagi digubris
mata kan membawa kaki
mencari pelabuhan hati yang lain
nyaman dan hidup
itu saja sudah cukup


Thursday, December 29, 2011

Natal Terbaikku

Minggu, 25 Desember 2011 kemarin, PS Ave Verum mengadakan pelayanan ke Stasi Serbajadi, Paroki Santa Maria Ratu Rosari, Tanjung Selamat. Letaknya ± 20 km dari kota Medan menuju ke arah Tanjung Anom, melewati kebun tebu yang luas dan jalan yang berlubang-lubang, tanpa aspal.

Kami berangkat dari Gereja St. Maria Tanjung Selamat bersama rombongan Romo Heri, OSC. sekitar pukul 9:00 wib. Perjalanan kami memakan waktu sekitar 30 menit ke lokasi. Sesampainya di gereja itu, kami bersama rombongan Romo Heri dan tiga orang suster disambut oleh beberapa umat yang telah menunggu. Sebuah gereja yang sangat sederhana, gereja Katolik terkecil yang pernah aku lihat. Umat stasi itu, menurut ketua dewan stasi hanya berjumlah 23 kepala keluarga (lebih sedikit dari umat lingkunganku). Tidak ada organ atau sejenisnya, kipas, juga toilet. Bangkunya juga cuma 10 unit, dengan kapasitas duduk 6 orang/bangku. Saat itu, ternyata jumlah umat yang hadir tidak banyak, sedikit saja lebih banyak dari anggota Ave Verum yang hadir. karena tempat duduk terbatas, terpaksalah digelar tikar di bagian belakang sebagai tempat duduk beberapa umat. Sangat sederhana.

Kehadiran kami ternyata sangat memberikan sukacita yang besar kepada mereka. Aku yakin, stasi ini sangat jarang dikunjungi oleh Pastor, apalagi kelompok paduan suara.

Ave Verum, sebenarnya harus diakui pergi ke stasi itu tanpa persiapan yang matang, hanya bermodalkan semangat pelayanan, apalagi itu adalah Natal hari pertama. Teks lagu yang sudah dipelajari ternyata tertinggal di Medan. ;-) Jadi, terpaksalah kami mengoptimalkan lagu yang paling tidak dikuasai oleh mayoritas anggota.

Setelah melakukan persiapan sound, Misa pun dimulai. Sungguh tak disangka, kabel power Keyboard pinjaman bermerk Yamaha PSR S-900 yang sedianya dimainkan oleh Saudara Sulaiman Sianturi 'Sang Rasul', ternyata putus. 'Sang Rasul', Bang Leo Samosir dan Ketua BPH Zuke Sitohang mencoba memperbaiki kabel yang putus gak bilang-bilang itu. Misa pun terpaksa diawali dengan nyanyian tanpa musik. Syukurlah tidak sampai tiga lagu, Keyboard itupun berhasil berbunyi sebagaimana mestinya, mengiringi kidung pujian yang kami nyanyikan bersama umat.

Dalam kotbahnya, Romo Heri, OSC, mengatakan bahwa Stasi Serbajadi adalah stasi terjauh yang masih masuk ke Paroki St. Maria Ratu Rosari Tanjung Selamat. Salah satu isi kotbah Romo yang paling menarik adalah ketika beliau menunjuk ke sebuah gua buatan yang di dalamnya hanya ada patung Bunda Maria, ya, tidak ada patung Yesus sama sekali, ataupun kandang domba, padahal gua itu dibuat dalam rangka merayakan Natal. Dalam hati aku bergumam, jangan-jangan bayi kecil Yesus sudah dibawa oleh Tiga Orang Majus dari Timur itu.

Setelah acara Misa selesai, PS Ave Verum menyanyikan tiga buah lagu hiburan yaitu : Alleluia Fanfare, Halleluya Amen dan Merry Christmas. Kami menerima applaus yang luar biasa dari umat, hal itu terlihat dari antusiasme mereka mendengarkan lagu-lagu yang kami nyanyikan.

Selanjutnya, tanpa basa-basi, ketua dewan stasi meminta kepada kami untuk tidak pulang terlebih dahulu. Ouwh, rupanya kami dijamu makan siang. Entah kenapa makan siangnya diadakan di gereja, bukan di rumah umat. Kami disuguhi menu yang sangat menggugah selera seperti lomok-lomok (bahasa Karo) atau yang lebih dikenal saksang (dalam bahasa Toba), cipera (masakan khas Karo) dan sup B2.

Setelah menahan selera beberapa menit selama Romo membawakan doa sebelum makan, kami pun memuaskan diri menyantap semua hidangan yang telah disediakan oleh umat. Nikmat luar biasa! double rasanya, enak dan gratis! Heehehee .....

Setelah selesai makan siang karena perut sudah kepenuhan, kami disuguhi lagi dengan buah-buahan segar ; manggis, duku, apel, rambutan dan jambu. Syukur kepada Allah.

Selesai makan siang, Romo beserta rombongan pulang terlebih dahulu ke Medan, karena Romo akan mendampingi Uskup Agung Medan, Mgr. Anicetus Sinaga, OFM Cap. dalam acara Mimbar Agama Katolik di TVRI Sumut.

Acara selanjutnya adalah tari-tarian dari Asmika, tari yang memang terkesan asal jadi. Akan lebih jujur jika dibilang itu seperti sekumpulan anak-anak yang sedang bermain daripada tarian. Tapi salut, semangat mereka sangat luar biasa. Tidak malu atau canggung sedikit pun. Mudika juga ikut menyumbangkan suara emas mereka dengan bernyanyi sambil diiringi gitar. Sebenarnya (jujur lagi nih) suara gitar dan suara Kwartet Mudika itu tidak nyambung, tapi mereka (yang semuanya cewek kecuali gitaris) tetap bernyanyi dengan penuh semangat, sambil sekali-sekali melirik ke arah anggota Ave Verum yang agak ganteng.

Kemudian acara pun dilanjutkan dengan bernyanyi dan menari bersama. Kebetulan umat di sana banyak suku Karo, maka dengan tanpa mengurangi rasa hormat lagu Katolik Sibadia (Karo) pun mengalun dengan tergesa-gesa, terhuyung-huyung serta tergopoh-gopoh. Hahahaaa .....


Tidak ada pesta yang tidak usai, itu kata pepatah lama.

Akhirnya waktu jugalah yang memaksa kami menghentikan semua sukacita kami itu. Kami harus pergi meninggalkan gereja dan umat Stasi Serbajadi untuk kembali ke gubuk kami masing-masing. Saat kami mulai meninggalkan mereka, mereka masih setia menemani kami dengan tatapan mereka, sambil dengan berat hati melambaikan tangan pertanda 'Sampai Jumpa Lagi' ke arah kami.

Sepanjang perjalanan, aku berkali-kali bersyukur kepada Tuhan, karena telah dipertemukan dengan umat yang begitu merindukan pelayanan seperti yang telah kami berikan. Aku merasa bahwa ternyata pelayanan itu sangat menyenangkan, terutama pelayanan ke stasi-stasi kecil dan terpencil.
Di kota besar seperti Medan ini, takkan pernah kami terima sambutan seperti itu. Memang Ave Verum tidak megharapkan penyambutan yang berlebihan, tapi umat Stasi Serbajadi telah menunjukkan bahwa keberadaan kami, pelayanan kami, jauh lebih dibutuhkan oleh mereka dibandingkan oleh umat di kota.

Selamat tinggal saudaraku, kami akan sangat merindukan kalian semua.
Semoga pada kesempatan lain, kita masih bisa bertemu dalam suasana yang lebih menyenangkan.

Selamat Natal dan Selamat Menjelang Tahun Baru
Tuhan beserta kita. Amin.

Monday, September 19, 2011

apa maumu?

kau, kau dan kau ....
mengapa harus turut campur?
jika tak sekali pun namamu disebut
jika tak secuil pun hadirmu diharap

tinggal bilang, jika tak senang
bila perlu bawa saja parang
walaupun hari ini aku kalah
besok lusa 'kan terus kucoba
sampai ajal menjemput salah satu dari kita

aku rela

marah lagi

kawan, kali ini kumulai lagi
menusukmu dengan penaku
menghajarmu dengan isi kepalaku
bukan kepalang marahnya aku

kau hanya melihat dari kacamatamu
tak sedikit pernah berpikir
ada kacamata lain yang lebih cocok untukmu

esok, kau kan merasakan buah yang kau tanam sekarang
sengsara kawan, sengsara ....
hidup ini bak roller coaster
sebentar lagi, giliranmu di bawah

semoga aku masih hidup
untuk menyaksikan kesengsaraanmu
sambil berusaha untuk tidak merasa iba

Tuesday, September 6, 2011

... aku pergi ...

Terkadang, kita baru menyadari kita merasa sangat kehilangan setelah seseorang itu benar-benar pergi dan takkan kembali. Saat itu, akan banyak pikiran berkecamuk, mungkin saja kita merasa bahwa kita begitu mengasihinya, sangat merindukannya atau bahkan teramat mencintainya, perasaan yang selama ini mungkin belum pernah terbersit.
Tetapi bisa saja itu tidak lebih dari sekedar kehilangan seseorang yang pernah menorehkan tinta pada lukisan hidup kita.

Memang tidak mudah menjadi tegar, apalagi yang pergi dan takkan kembali itu adalah 'pelukis utama' hidup kita.
Namun, membiarkan diri bernostalgia terlalu lama dengan kenangan yang sudah teramat usang, takkan menghidupkan kembali 'si pelukis' itu.
Bukankah hidup belum berakhir? masih sangat luas kanvas yang dapat dilukis oleh pelukis lain, yang mungkin akan memberikan warna yang lebih hidup pada hidup kita.

Life is short, don't shorten it by think short!

Serius, Santai, Senyum

Hidup tidak harus rumit, kesederhanaan hidup adalah menjalani hidup itu dengan santai, penuh senyum, tapi tetap serius.
Tidak ada hidup yang berjalan di satu rel. Terkadang kaki melangkah ke kiri untuk menghindari sesuatu, untuk kemudian kembali ke rel semula, dan terkadang ada yang sama sekali lari dari tujuan awal.
Namun, hidup tetaplah hidup, bahkan sesudah kematian.
Kita hidup dalam kenangan orang yang kita tinggalkan.
Dan semoga saja, mereka akan selalu tersenyum ketika mengenang kita.